Friday, March 11, 2011

Sinar Dalam Gelap

Ini salah satu cerpen yang gue buat sendiri. Kemarin gue daftarin dalam lomba cerpen islami. Unfortunately, gue ga menang, hahaha.... Gue sadar sih emang isinya kurang sinkron sama tema lomba. Grammar dalam percakapan bahasa Inggrisnya juga kurang baik. Cerpen tiga halaman HVS ini gue bikin pas hari deadline pengumpulan. Gila sih kalo dipikir-pikir. Tapi gue coba buat karena saking semangatnya tahu ada lomba penulisan, hahaha...
Walaupun karya gue bukan yang terbaik, tapi mungkin bisa membuat temen-temen terinspirasi untuk membuat karya juga ^_^

SELAMAT MEMBACA ! 


************************_________________________****************************


SINAR DALAM GELAP


“Nani! Come here!”, teriak seorang wanita tua dari ruang dapur.     
“Hey Nani, hurry up!”
Namun, tak ada jawaban atas perintahnya itu. Wanita tua itu terlihat geram. Dia lepaskan sarung tangan untuk memasak dari kedua tangannya. Tak lupa celemek yang menutupi tubuh bagian depannya juga dia lepaskan. Teflon kecil yang tergantung di dinding berkeramik putih di dapur, ia ambil. Dengan membawa teflon kecil itu, dia berjalan menuju kamar wanita yang dia panggil sejak tadi. Dari jauh, terlihat sebuah kamar tidur kecil dengan pintu yang tidak ditutup rapat. Dia mendekat ke daun pintu dan membukanya perlahan. Dia melihat sesosok wanita dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Wanita itu berdiri tepat dua meter di depannya.
“Aaaahhhh.....! Aaaah....!” suara jeritan memekikan telinga keluar dari mulut wanita tua itu.
Teflon itu terlepas dari tangan kanannya yang penuh dengan gelang emas. Tubuhnya yang gempal kemudian jatuh terhempas ke lantai marmer. Wanita tua yang memakai long dress itu pingsan. Wanita yang bernama Nani kemudian melepaskan mukena putih, yang ia kenakan, secara perlahan. Tangan kirinya terlihat bengkak. Darah yang mengental di bawah lapisan kukunya, terlihat sangat hitam. Bentuk pinggiran dan permukaan kukunya sudah tidak mulus lagi.  Jemari kirinya kaku untuk digerakkan.
Nani menghampiri wanita tua yang terbaring di hadapannya. Tubuh gempal wanita tua itu digoyang-goyangkan olehnya. Di atas meja rias yang hanya berupa papan di sangga oleh lempengan besi, ada sebuah minyak angin. Botol berwarna bening itu diraihnya dengan tangan kanan. Berharap si wanita tua itu bangun dari pingsannya. Alisnya beradu. Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat dingin. Nani sudah kehabisan akal untuk membuat majikanya sadar. Dia berlari meninggalkan wanita itu dalam keadaan seperti itu. Dia berlari menuruni tangga untuk mencari bantuan.
Kini wanita tua telah terbaring di kasurnya nan empuk. Dia didampingi Nani serta anak laki-laki wanita tua gempal itu. Anak lelaki itu baru saja pulang dari negeri Paman Sam. Mereka berdua tampak cemas. Selang dua jam kemudian, wanita tua yang sering disapa Madam oleh Nani, sadar dari pingsannya. Dia terlihat letih dan masih lemah untuk bangun. Bola matanya bergerak ke sana ke mari mencari obyek yang ia cari. Pandangannya terhenti pada Nani. Dia terlihat geram seperti saat dia memanggil Nani.
“I have told you before, you may not to pray with your way! I hate to see your religious clothing. You know, it scares me!”
“But, I have to pray to my God, Madam. Is it wrong? It's to me my religion and to you your religion.”
“I don’t want to know your reason! And you have no right to oppose me. If you do this again, you will get a similar action, like I have done to your left hand before”, ucap Madam dengan tatapan mata yang tajam ke arah Nani.
“Mom, you have to take a rest. I’ll tell to Nani later. Okay?”, anak lelaki itu kemudian menyelimuti ibunya. Wanita tua itu pun menurut.
“You, get out from here!” perintah lelaki itu sambil menunjuk muka Nani. Tanpa menunggu diperintahkan untuk kedua kalinya, Nani langsung melangkah keluar dari ruangan bernuansa pastel.
Dia hempaskan dirinya ke atas kasur. Dibenamkannya wajah letih pada bantal. Badannya berguncang. Suara sesengukan dan terdengar sendu keluar dari pita suaranya. Wanita berumur tiga puluh lima ini hanya bisa menangis. Hatinya merintih kesakitan. Dia merasa terhina dengan semua perbuatan majikannya. Tapi dia harus bertahan beberapa. Masa kontrak kerjanya di Malaysia tinggal tiga bulan. Membayangkan tiga buah hatinya di kampung halaman, membuat hatinya teguh. Dia harus pulang dengan membawa uang untuk biaya pendidikan anak-anaknya.
“Mereka pasti merindukanku. Ya Allah, kuatkanlah hamba dalam menghadapi cobaan ini”, ujarnya dalam hati. Nani berbalik dan berbaring telentang. Pernah terbesit dibenaknya untuk melarikan diri. Namun, passportnya tidak berada di tangannya. Bagaimana dia dapat pulang ke tanah air bila tidak ada buku kecil tersebut? Dipandanginya tangan kiri yang masih biru keunguan di bagian buku kelingking. Peristiwa seminggu yang lalu berputar kembali dibenaknya seperti film tak bersuara. Kamar mandi di lantai dua menjadi saksi bisu atas peristiwa itu.
Sore itu Nani telah selesai dengan pekerjaannya. Dia merapikan kamarnya kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Dia baru saja selesai mandi dan majikannya pulang. Dia mengambil beberapa bungkus makanan dari dalam mobil. Bungkusan-bungkusan itu dibawanya ke dapur untuk dimasukkan ke lemari es.
“Do not try to pick one food from the refrigerator!”, ucap wanita gempal dengan lantang. Nani hanya mengangguk tanpa menatap. Dia masukkan satu persatu buah serta makanan saji yang dibeli oleh majikannya. Segarnya warna merah apel dan wanginya yang harum membuat saliva membasahi bibirnya. Dia sangat ingin mencicipi buah yang ada di depan matanya. Namun, dia urungkan niatnya. Itu bukan miliknya.
Selesai memasukkan semua barang, dia kembali ke kamar. Jam di kamarnya sudah menunjukkan waktu shalat ashar. Dia bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Air mengalir langsung dari kran membasahi wajahnya. Terasa segar dan meringankan kepala. Nani menghayati setiap langkah wudhunya. Semua ini dilakukannya secara diam-diam. Majikannya tidak menyukai bila dirinya melakukan ibadah kepada Allah. Dia sangat tidak senang orang lain melakukan ibadah selain ibadah dengan caranya.
Nani menilik kanan kiri. Dia bergegas menuju kamar dan menguncinya. Ketenangan dalam beribadah adalah hal yang paling diinginkannya. Namun, tidak untuk di tempat ini. Bisa melaksanakan shalat pun ia sudah bersyukur. Sajadah berwarna cokelat muda kemudian tergelar di lantai. Kiblatnya menghadap pintu kamar Nani. Takbir terucap dari mulutnya.
“Nani! Where are you?”, suara wanita tua terdengar samar-samar dari lantai bawah. Derap langkah kaki menuju kamar Nani semakin lama semakin terdengar jelas. Suara wanita tua itu terdengar lagi. Dia memanggil nama Nani dengan melengking. Shalat ashar pun selesai. Nani melepas mukena dengan sigap. Pintu yang terkunci pun terbuka. Daun pintu terbuka sedikit.
            “I’m sorry Madam, I didn’t hear your voice. Can I help you?”
            “Do you pray?”, wanita tua itu bertanya dengan raut wajah curiga. Kedua tangannya terlipat di depan dada.
            “No, I don’t. I’m sleep for a while”, Nani menjawab dengan hati-hati. Jawaban Nani tidak membuat kecurigaan majikannya surut. Wanita tua itu mendorong daun pintu dan memasuki kamar berukuran enam meter persegi. Matanya tertuju pada mukena dan sajadah milik Nani yang masih tergeletak di lantai.
            “You lied to me!”, wanita tua itu berbalik dan menyeret Nani ke arah kamar mandi. Dia membenamkan wajah wanita kurus itu ke bak mandi. Ketika kepala Nani di angkat, dia berteriak meminta ampun. Namun, wanita tua itu tidak punya belas kasihan. Tangan kiri Nani, dia letakkan pada palang pintu. Kemudian, daun pintu itu dia hempaskan ke mendekati palang pintu. Nani berteriak sekencang-kencangnya karena kesakitan. Hempasan itu dilakukan dua kali. Perih, nyeri, sakit bercampur jadi satu di tangan kirinya. Wanita tua dengan rambut digelung, tertawa dengan puasnya dan meninggalkan Nani terkapar di depan kamar mandi. Dia terus merintih kesakitan. Tak ada seorang pun yang bisa menolongnya, kecuali dirinya sendiri dan Allah.
            Air mata menetes tidak hentinya dari mata cokelat Nani. Dia mengusap air matanya. Tak berapa lama, terdengar suara ketukan pintu kamar. Nani merapikan keadaannya dan membuka pintu putih itu. Anak lelaki majikannya berdiri dengan wajah serius. Entah apa lagi yang ingin dia katakan atau perbuat. Di tangannya terdapat buku tipis berwarna hijau dengan lambang Pancasila di depan halaman pertama.
            “This is yours”, ucapnya sambil menyerahkan passport itu kepada Nani.
            “Tonight you will come back to your country. I will tell to your agency about your payment. Pack your belongings.”
            “Thank you very much Sir. How about Madam? She will angry!”
            “No problem. I can handle it. I’m sorry for you left hand and your religion. You can do anything about your religion after get out from here Nani”,  ucapnya sambil beranjak pergi. Nani memandang anak lelaki itu dari belakang. Dengan senyum menghiasi bibirnya, dia berkata dengan penghayatan dari lubuk hatinya,“Hamba tahu, Engkau tidak akan menimpakan cobaan melebihi kemampuan hamba ya Allah....”






3 comments:

  1. -_____-"
    panjang nian.
    kenapa ga dibikin per chapter aja?

    heumm...anak ITP46 kan?!
    tumben-tumbennya nih ada anak ITP yang "doyan" ngeblog.
    hehe..

    ReplyDelete
  2. tuangkan semua inspirasimu dalam tulisan dan kau akan menemukan keajaiban (pradana 2011)

    @ichal: wah-wah dipikir anak ITP cuma "doyan" masak ama makan,hehehe..:p

    ReplyDelete
  3. andi : masih belum ngerti, gimana caranya? gue masih agak gaptek sama blog, hahaha
    anak itp juga kreatif kali, ga cuma ngelab doang

    dana : setuju sama dana. You can say anything in your paper or blog... Feel free

    ReplyDelete